Berasbasah.com || Lalu lintas di kawasan jalur pantura Semarang cukup padat. Di antara kepungan truk-truk barang, bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), terselip sebuah sepeda motor otomatis Pengendaranya dua orang. Mengenakan kaos warna ungu, berboncengan dengan seorang yang mengenakan jins ketat, dan berhijab hijau polkadot.
Dua perempuan ini melajukan motornya seperti tergesa-gesa. Ketika sampai di kawasan Tambakaji, mereka melambatkan motornya dan berbelok ke sebuah bangunan kantor. Susanti, sebut saja begitu, si pengendara motor kemudian melangkahkan kaki. Usai melapor, ia duduk di ruang tunggu.
“Iya, Mas. Ini sidang ketiga. Saya mengajukan gugat cerai kepada suami saya,” kata Susanti di Pengadilan Agama Kota Semarang, Kamis (10/2/2016).
Susanti mengaku berusia 31 tahun. Ia baru pulang dari bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Ia menggugat cerai suaminya, Mirza, sebut saja begitu, yang sudah berusia 53 tahun. Susanti mengaku gugatan cerai kepada suaminya dilayangkan karena saat pulang ke rumah tak ada sambutan sama sekali. Malahan rumah mereka kosong dan terkunci.
“Saya telepon enggak diangkat. Mungkin sudah punya pacar atau istri baru,” kata Susanti. Tak berapa lama, Mirza datang. Ia terlambat tiba di Pengadilan Agama karena harus izin dari tempatnya bekerja, sebuah toko oleh-oleh yang memproduksi bandeng presto di Jalan Pandanaran Semarang. Dari sana ia menumpang angkutan umum.
Sambil menunggu dipanggil sidang, mereka tak bertegur sapa. Mereka juga seperti orang yang tak saling kenal.
“Saya kan kerja. Rumah kosong ya dikunci. Dia telepon pakai nomer baru, mana saya tahu. Enggak ada omongan apa pun di rumah, tahu-tahu saya dipanggil untuk sidang perceraian ini,” kata Mirza.
Pasangan Mirza-Susanti hanyalah satu dari ratusan pasangan yang antre menunggu status baru mereka sebagai janda dan duda. Hasil penelusuran Liputan6.com, rata-rata gugatan perceraian diajukan oleh kaum perempuan. Penyebabnya sepele, cemburu yang tidak dikonfirmasi dan dikomunikasikan.
“Istri saya kan masih muda. Kalau di rumah, mainannya hape melulu. Kadang tengah malam dia telepon entah dengan siapa,” kata Mirza. Meski demikian, Mirza berkukuh tak mau memeriksa ponsel istrinya. Alasannya, hanya akan mengundang rasa cemburu. “Ya, nanti ujungnya berantem, Mas,” kata Mirza.
3.119 janda
Sementara itu data yang ada di Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Semarang, tercatat selama 2015 ada 3.119 kasus perceraian. Angka itu adalah perkara yang sudah diputuskan dalam sidang. Itu artinya selama setahun ada 3.119 janda dan duda baru di Semarang.
Uniknya, dari angka tersebut terdapat 2.197 istri yang menggugat cerai. Sebanyak 922 suami melakukan talak secara hukum melalui persidangan di Pengadilan Agama.
Sementara itu, catatan tahun 2016 tak kalah seram. Berjalannya tahun yang baru seumur jagung ini mencatat pada Januari 2016 sudah tercatat 288 kasus perceraian.
Rinciannya 77 talak dan 211 gugat cerai. Sedangkan pada Februari 2016 hingga tanggal 25 Februari lalu ada 214 kasus perceraian. Bedanya, selama Februari 2016 kasus suami mengajukan talak mendominasi dan mencapai 161 kasus, sisanya 53 kasus gugat cerai.
Humas Pengadilan Agama (PA) Kelas IA Semarang, Drs M Sukri SH MH memperkirakan akan ada 3200-an perkara yang masuk. Perkiraan itu didasari data terjadi 250-300 perkara sepanjang Januari-Februari 2016.
“Sehari ada 25-20 perkara yang mengajukan gugatan perceraian. Paling banyak hari Senin yang mengajukan,” kata Sukri.
Pengaruh Medsos
Menurut Sukri memang lebih banyak istri yang mengajukan gugatan perceraian. Persentasenya mencapai 70 persen. Hal ini menunjukkan sudah terjadi pergeseran pandangan hidup di masyarakat yang sebelumnya menganggap tabu jika istri menggugat cerai suaminya.
Adapun penyebabnya memang macam-macam. Salah satunya media sosial “Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah keterbukaan informasi. Para istri menjadi sadar akan aturan-aturan seperti ini untuk menuntut haknya di Pengadilan Agama,” kata Sukri.
Merujuk kasus perceraian Mirza-Susanti, Sukri menyebut bahwa media sosial memang sangat berpengaruh. Gampangnya membuat akun Facebook, Twiter, Path dan media lainnya memudahkan orang saling terhubung, meski tidak mengenal secara nyata.
“Biasanya cemburu dipicu lewat status Facebook, BBM, atau lainnya. Ada juga SMS yang dijadikan alasan tuduhan adanya perselingkuhan. Bahkan ada yang membawa print out percakapan di media sosial sebagai barang bukti,” kata Sukri.
Mencoba memverifikasi penjelasan Sukri, Liputan6.com berbincang dengan Nia Devi. Ia kemudian bercerita sudah memiliki calon suami yang baru meskipun perkaranya belum mulai disidangkan.
“Saya kenal di FB. Dia mampu bikin saya nyaman. Kadang saling kirim inbox dan merayu,” kata Nia.
Anehnya, calon suami Nia yang baru ini belum pernah ditemui. Tapi mereka sudah saling berjanji untuk membina rumah tangga. “Belum pernah ketemu. Dia kan orang Surabaya. Punya perusahaan konstruksi,” kata Nia.
Saat ditanya alasan dia percaya dengan pacarnya yang mendorong menggugat cerai suaminya, Nia menyebut karena merasa nyaman saja. Saking nyamannya, Nia mengaku sudah beberapa kali mengirim foto-foto dirinya tanpa busana kepada pacarnya itu. Saat berkomunikasi lewat inbox FB itulah mereka saling memuaskan hasrat seksual mereka dengan chat erotis dan diselingi berkirim foto tela*jang. “Saya belum pernah berpikir dia menipu. Selama ini kami baik-baik saja,” kata Nia.
Usia Bosan
Sementara data yang dimiliki Sukri menyebutkan rata-rata usia yang mengajukan perceraian adalah 30-40 tahun. Usia itu bisa disebut sebagai usia bosan. “Pada usia itu mereka mendekati garis-garis kebosanan. Kebanyakan baru menikah tiga-lima tahun. Ada juga yang baru setahun menikah,” kata Sukri.
Pengakuan Windarto, seorang manajer marketing perusahaan otomotif seakan membenarkan analisa Sukri. Ia mengaku tak betah di rumah dan suasananya membosankan. Saat itulah ia berkenalan dengan seorang yang mengaku sebagai janda.
“Masih bekerja di Malaysia. Rencana April nanti kontraknya habis dan pulang ke Indonesia. Meski TKW kalau pasvideo call kelihatan canggih, Mas. Istri saya kalah hot,” kata Windarto.
Sama seperti Nia Devi, Windarto juga melakukan video call sex untuk mengusir kebosanan dengan istrinya. Meski begitu ia mengaku aneh juga, karena video call maupun saling berkirim inbox di FB sebenarnya tak nyata dan hanya manipulasi imajinasi saja.
“Kadang saya berpikir, istri saya di kamar menunggu, tapi entahlah rasanya lebih nikmat di medsos,” kata Windarto. Nah, dengan angka perceraian yang cukup tinggi itu, Sukri mengharapkan agar pasangan muda atau yang berada dalam usia bosan untuk lebih sehat ketika berinteraksi di media sosial. baca sumber aslinya disini