Ibuku adalah seorang cacat. Ayahku dulu bukanlah seorang kaya. Meminang seorang wanita pun tidak mampu. Tidak ada seorangpun juga yang mau menikah dengan beliau. Pada suatu hari, beliau bertemu dengan ibuku dan karena kasihan melihatnya, beliau mengajak ibuku pulang ke rumah.
Pada awalnya, nenekku tidak membiarkan ibuku menginjakkan kaki ke dalam rumah. Beliau bahkan berkata pada ayahku, "Kamu lihat dia! Lihat saja sudah tahu kalau dia ini orang cacat!" Ayahku yang tidak rela menelantarkan ibuku pada saat itu pun membiarkannya tidur di kandang hewan dan memberikan beliau selembar selimut supaya beliau tetap hangat.
Setelah ibuku merasakan kebaikan dari ayah, beliau merasa ada sesuatu yang bisa beliau lakukan. Keesokan harinya setelah beliau bangun tidur, ibuku membersihkan kandang, menyapu, dan melakukan pekerjaan rumah yang bisa beliau lakukan. Akhirnya ayahku berkata kalau beliau ingin hidup bersama dengan ibuku. Nenek yang awalnya tidak setuju akhirnya menyetujui hubungan ini sembari berpikiran, "Biarlah dia melahirkan anak dulu, kemudian saya akan mengusirnya dari rumah ini."
Nenekku yang sering memarahi ibu mungkin menjadi salah 1 alasan mengapa ibuku menjadi sering melakukan kesalahan. Tidak sedikit piring dan mangkuk yang tidak sengaja dipecahkan. Tidak hanya itu, ibu yang pada saat itu sedang mengandung aku, hampir membuat nenekku marah besar!
Pada awalnya, nenekku ingin supaya anak yang ada di perut ibu, yang juga adalah aku, diaborsi. Untung baik ayahku bersikeras supaya aku bisa dilahirkan. Ibuku tidak pernah bisa menjaga anak. Pernah suatu kali aku dicubit sampai hampir terluka. Karena alasan ini jugalah aku dibesarkan oleh nenek. Nenek sering berkata padaku, "Jangan pernah berbicara dengan wanita gila itu."
Aku yang masih kecil dan tidak mengerti apapun sering ditertawakan oleh teman-temanku yang lain. Sepulangnya ke rumah, aku memarahi ibuku, "Kamu tahu nggak apa panggilan orang lain buatku?! Mereka mengataiku setengah gila! Mengejekmu wanita cacat! Kenapa sih dulu kamu nggak membiarkanku diaborsi saja?!" Aku bahkan sempat beberapa kali melemparinya dengan batu. Suatu kali saat aku benar-benar emosi, aku mengambil sapu dan memukulinya. Bahkan di saat seperti ini, ibuku hanya tertawa seperti seorang anak kecil yang diajak bermain.
Perlahan-lahan, ibuku tampaknya mulai mengerti bahwa aku tidak berharap beliau berada terlalu dekat dengan saya. Jika kami keluar rumah bersama-sama, ibuku akan menjaga jarak sehingga kami tidak berjalan terlalu dekat. Hal ini terus berlangsung sesampainya aku memasuki usiaku untuk kuliah. Ketika aku akan meninggalkan rumah untuk merantau dan menempuh pendidikanku, ibu memberiku sebuah kantung berwarna hitam yang di dalamnya berisi banyak sekali uang logam yang berharga dan tampak lusuh. Melihat ini aku mulai menangis. Aku mulai berpikir kembali tentang masa lalu dimana aku menghina dan menyakiti ibuku. Aku merasa tidak layak…
Seusai menempuh pendidikanku, layaknya wanita biasa, aku bertemu dengan seorang pria yang mencintaiku. Keadaan keluarganya sangat baik seperti keluarga pada umumnya. Pada saat pria ini ingin meminangku, mereka baru mengetahui keadaan keluargaku, dan ibuku yang cacat. Orangtua dari pacarku ini menolak pernikahan kami, namun dia bersikeras ingin menjalankannya.
Sesampainya di hari pernikahan, saya merasa perbuatan-perbuatan saya di masa lalu terhadap ibu saya benar-benar tidak layak. Di upacara pemberkatan, orangtua dari pacar saya berkata pada ibu, "Hei gila, kalau kamu berlaku seperti anjing, semua orang akan memberikan ucapan berkat untuk anakmu." Ibuku melakukannya… Melihat hal ini saya sangat marah, mengangkat ibuku dari lantai, mencium dahinya dan berkata, "Ma, kita pulang aja ya. Pernikahan ini dibatalkan."