“Yakin mau sama dia? Masa depannya gimana?”
“Yaelah, kenapa urusan masa depan dipikirin sekarang sih? Nikmatin aja dulu jatuh cintanya.”
Proses jatuh cinta yang penuh hal-hal manis kadang membuat kita lupa. Tentang bagaimana hidup setelah debar-debar di dada meredup. Soal berjuang dan mencukupkan diri meski tidak ada lagi gelenyar selepas kecup. Semakin dewasa jatuh cinta ternyata tidak bisa dinikmati begitu saja. Ada konsekuensi besar yang menunggu di baliknya.
Ayolah, kita fair saja. Kemampuan mencukupi diri sebagai manusia juga memegang peranan penting selain cinta. Apalagi buat kita yang sudah dewasa.
Sebab jatuh cinta itu pakai perasaan - tapi menjaganya tetap harus pakai penghasilan.
Sekarang keterbatasan justru terasa manis. Namun di masa depan kita tak bisa terus bertahan dalam posisi ‘merintis’
Saat ini menjalani semuanya dalam keterbatasan memang tidak terasa memberatkan. Enteng saja rasanya waktu mesti berpikir panjang dan menghitung total bill sebelum memesan makanan.
“Eh, udah pesen kepitingnya 1/2 kilo aja. Sisanya tongkol. Hmmm..minumnya es teh aja ya yang paling murah?”
Atau bagaimana kita ikhlas saat harus mengganjal perut dengan nasi telur selama sepekan penuh. Alasannya sederhana saja, di akhir bulan ada band favorit yang sudah ditunggu-tunggu konsernya. Kalau tidak melakoni penghematan macam ini tiket yang cukup mahal itu tak akan bisa terjangkau kantung mahasiswa.
Melewati struggle berdua memang meninggalkan jejak manis. Kelak, kamu dan dia bisa memanggil ulang semangat yang pernah ada waktu dompet tipis, saat keuangan sedang amat tiris. Pertanyaannya, apakah masuk akal jika terus sama-sama berada dalam posisi merintis?
Manusiawi sekali ‘kan jika suatu hari rasa ingin settle itu tiba? Sesederhana bisa memesan makanan tanpa khawatir bokek setelahnya. Atau bebas membelikan hadiah sebagai reward pasangan yang sudah bekerja keras menggolkan semua project nya.
Merintis bersama, harus ada batasnya. Kalian mesti mapan pada masanya.
Bukan berarti tidak percaya cinta. Hanya saja urusan KPR, biaya persalinan, sampai dana pampers anak mengantri di belakang sana
Jatuh cinta itu mudah. Menciptakan pesta resepsi meriah juga masih masuk kategori mudah. Kehidupan pasca resepsi lah yang sering membuat payah.
Selepas hingar bingar pesta perayaan sebagai pasangan anyar sudah usai, pintu episode yang sebenarnya baru dimulai. Makan di luar sudah tidak bisa dilakukan sesering dulu lagi. Kalian mesti pintar-pintar menyiasati menu. Memilih yang mudah dimasak, enak, dan yang jelas masuk akal nominal belanjanya.
Belum lagi kalau gadismu langsung hamil setelah itu. Bujet nonton mesti rela dicoret sementara, karena biaya kontrol ke dokter obsgyn mengakuisisi kucuran dana. Ngopi-ngopi cantik harus diikhlaskan, sebab biaya pampers dan vaksin anak mulai masuk ke tagihan. Cicilan KPR juga menanti. Membuatmu dan pasangan mesti berkomitmen sekian puluh tahun demi mencicil hunian yang diingini.
Jatuh hati dan memilih bersatu memang soal perasaan. Tapi kalau perkara rasional macam penghasilan dinafikan, chemistry sekuat apapun nampaknya juga bisa bubar jalan.
Ternyata kita perlu makin realistis jadi manusia. Mau cuma sekadar bahagia, atau cari yang pekerja keras dan gigih jadi partner mewujudkan mimpi bersama?
Seorang teman pernah bilang bahwa kebahagiaan setelah kata ‘Sah!’ diucapkan itu berbeda. Bahagia mengerdil jadi hal sehari-hari yang terkesan biasa saja. Kamu bisa bahagia hanya karena kruntelan nonton DVD sampai ketiduran. Bahagia malah datang dari kejutan pelukan saat mencuci tumpukan pakaian sebagai kegiatan pengisi akhir pekan.
Saat kebahagiaan berubah bentuk, masalah pun juga turut bertransformasi. Jika dulu Perang Dunia 3 bisa terjadi karena lupa memberi kabar atau cemburu, sekarang perselisihan muncul karena tagihan telepon membengkak dibanding bulan lalu. Sebelumnya perselisihan panjang bisa timbul karena bingung memilih mau makan di mana. Akan tiba masanya kalian ribut karena biaya daftar ulang sekolah anak menguras seluruh tabungan yang ada
Menghadapi hidup yang makin tidak ringan macam ini, mencari kebahagiaan saja jadi naif sekali. Hidup adalah tentang bertahan di tengah berbagai desakan kebutuhan. Dibutuhkan partner yang tak mudah menciut saat menghadapi kesulitan.
Dalam ikatan yang dewasa jadi penghitung yang baik bukan berarti matre. Rasionalitas ini menyelamatkan calon anak-anak kita dari hidup yang memble
Hubungan bukan cuma soal 2 kepala saja Dari aktivitas rutin bercinta bisa muncul anak-anak lucu tanpa dosa yang mesti diperjuangkan hidupnya. Kalau hanya mengikuti kata hati, bisa saja kita pilih dia yang etos kerjanya buruk sekali. Tapi mulutnya manis. Pelukannya magis. Hasilnya, calon keluarga kita lah yang akan meringis.
Memilih dia yang gigih bekerja bukanlah dosa. Tak perlu juga khawatir disebut matre hanya karena memilih dia yang bisa diajak membangun kemapapan bersama.
Tidak ada yang salah dengan mempertimbangkan pendapatan. Bukankah toh cinta dan perasaan memang tak bisa dimakan?